BALON/CALON INCUMBENT
HARUS MUNDUR DARI JABATAN PEMERINTAHAN
By Syamsul Bahri, Conservationis di Jambi dan Staf Pengajar STIE SAK –syamsul_12yahoo.co.id,Gambar By bocahsakti
HARUS MUNDUR DARI JABATAN PEMERINTAHAN
By Syamsul Bahri, Conservationis di Jambi dan Staf Pengajar STIE SAK –syamsul_12yahoo.co.id,Gambar By bocahsakti
Pada PILKADA di beberapa Kabupaten dan Kota Propinsi Jambi, munculnya balon/calon Incumbent memberi warna yang signifikan terhadap pelaksanaan PILKADA di Propinsi Jambi, seperti di Kota Madya dan Merangin dan Kerinci munculnya calon incumbent merupakan realita politik yang syah dan tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku,
Menurut “Ibrahim Zuhdhy Fahmy Badoh Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch” Memang disadari bahwa tak adanya aturan main yang jelas mengenai dana kampanye, dan dana sosialisasi memberikan keuntungan politik yang besar kepada para kandidat mantan penguasa (incumbent). Bagi balon/calon Incumbent, suksesi Pilkada dapat dimaknai sebagai keberlanjutan kolaborasi bisnis-politik yang sudah terbangun sebelumnya, dan memberikan sinyaelmen dukungan dari kolega yang telah terbangun
selama menjabat tidak menutup kemungkinan menjadi bagian yang tak terpisahkan.
Popularitas dan pengaruh di birokrasi juga salah satu keuntungan politik bagi calon/Balon Incumbent. Selain dapat menggunakan publikasi media atas perannya di pemerintahan juga dapat 'menggunakan' dukungan di birokrasi dalam pemenangan seperti dukungan dari kepala-kepala desa atau lurah beserta jajarannya.
PILKADA seharusnya merupakan hawa segera dan harapan baru bagi rakyat daerah. Harapan ini akan semakin jauh panggang dari api jika pemimpin daerah yang terpilih ternyata tetap berasal dari politisi lama yang identik dengan masalah-masalah daerah. Aturan main yang jelas tentang dana kampanye diharapkan dapat membatasi pengaruh yang berlebihan dari politisi lama terutama dalam mengumpulkan pundi uang dalam pemenangan Pilkada dan mendorong adanya persaingan yang sehat antarkandidat dalam Pilkada.
Menurut rakhmatsaleh di/pada Maret 25, 2008 (Rakhmatsaleh’s Weblog). Karena incumbent menjadi salah satu mesin politik yang strategis, sesuai dengan ketentuan bahwa Incumbent harus mundur dari jabatan di Pemerintahan setalah mendaftar di KPUD, namun aktivitas sosialisasi di beberapa daerah yang akan melaksanakan pilkada, justru yang dominan memulai melakukan kampanye dini dengan berbagai macam atribut adalah incumbent itu sendiri. Atribut tersebut secara massif disebar diberbagai tempat untuk menjaga popularitas si incumbent. Ini strategi yang kurang tepat. Sebab seorang incumbent seharusnya memaksimalkan masa akhir periode dengan kebijakan yang populis yang secara nyata meningkatkan positioning di mata rakyat. yang percaya diri adalah incumbent yang percaya bahwa kualitas kinerja pemerintahannya adalah alat kampanye yang strategis dan efektif meraih simpati.
Bukan incumbent yang tak percaya diri yang sejak 1 tahun sebelum lengser sudah menghabiskan uang rakyat hanya untuk membuat baliho dan alat peraga kampanye lainnya. Strategi penyebaran baliho justru menghadirkan antipati bukan simpati, sebab dianggap incumbent melakukan pelanggaran, curi start kampanye, dll.
Mundurnya incumbent sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2008, Perubahan Kedua atas Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 58 (q) yang berbunyi “mengundurkan diri sejak pendaftaran bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang masih menduduki jabatannya”
Secara etika dan moral dalam rangka menjaga netralitas PILKADA, sebaiknya incumbent, harus mundur apabila niat dan keinginan yang sungguh-sungguh ingin mencalonkan diri, sehinga segala sesuatu yang berbau pemerintah terlepas dari calon sang incimbent, dan akan memberikan kontribusi dalam peningkatan kualitas pilkada antara lian.
1. Akan tercipta ruang kemandirian dan netralitas birokrasi bisa lebih terjamin, Birokrasi bisa bertindak netral dan rasional sepertinya mudah terwujud ketika incumbent secara elegan mundur. Terjebaknya birokrasi dalam proses dukung mendukung yang terjadi dalam pilkada tak lepas dari kuatnya mental patriarkhi di kalangan birokrasi.
2. Pelaksanaan Pilkada akan fair, sehingga competiosi akan berjalan tanpa ada kecurugaan Gejala unfairness dalam pilkada biasanya mempercepat munculnya konflik. Khususnya di level birokrasi yang mengalami pengkotakan.
3. Terjaminnya netralitas penyelenggaran pilkada. Biasanya, relasi yang cukup dekat antara birokrasi dengan penyelenggara pilkada sering memposisikan penyelenggara pilkada tidak netral. Khususnya penyelenggara di level bawah seperti PPK dan PPS.
4. Untuk menjamin akuntabilitas pemerintahan yang sedang berlangsung. Tak dapat dipungkiri, memberikan sinyalemen kondisi keuangan negara begitu mudah dimanipulasi oleh incumbent yang sedang terlibat dalam pilkada.
Harapan kita semua, PILKADA Tahun 2008, diharapkan tanpa incumbent, karena Balon/Calon Incumbent telah mundur pada saat sudah serius ingin menjadi calon dalam PILKADA 2008.
Menurut “Ibrahim Zuhdhy Fahmy Badoh Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch” Memang disadari bahwa tak adanya aturan main yang jelas mengenai dana kampanye, dan dana sosialisasi memberikan keuntungan politik yang besar kepada para kandidat mantan penguasa (incumbent). Bagi balon/calon Incumbent, suksesi Pilkada dapat dimaknai sebagai keberlanjutan kolaborasi bisnis-politik yang sudah terbangun sebelumnya, dan memberikan sinyaelmen dukungan dari kolega yang telah terbangun
selama menjabat tidak menutup kemungkinan menjadi bagian yang tak terpisahkan.
Popularitas dan pengaruh di birokrasi juga salah satu keuntungan politik bagi calon/Balon Incumbent. Selain dapat menggunakan publikasi media atas perannya di pemerintahan juga dapat 'menggunakan' dukungan di birokrasi dalam pemenangan seperti dukungan dari kepala-kepala desa atau lurah beserta jajarannya.
PILKADA seharusnya merupakan hawa segera dan harapan baru bagi rakyat daerah. Harapan ini akan semakin jauh panggang dari api jika pemimpin daerah yang terpilih ternyata tetap berasal dari politisi lama yang identik dengan masalah-masalah daerah. Aturan main yang jelas tentang dana kampanye diharapkan dapat membatasi pengaruh yang berlebihan dari politisi lama terutama dalam mengumpulkan pundi uang dalam pemenangan Pilkada dan mendorong adanya persaingan yang sehat antarkandidat dalam Pilkada.
Menurut rakhmatsaleh di/pada Maret 25, 2008 (Rakhmatsaleh’s Weblog). Karena incumbent menjadi salah satu mesin politik yang strategis, sesuai dengan ketentuan bahwa Incumbent harus mundur dari jabatan di Pemerintahan setalah mendaftar di KPUD, namun aktivitas sosialisasi di beberapa daerah yang akan melaksanakan pilkada, justru yang dominan memulai melakukan kampanye dini dengan berbagai macam atribut adalah incumbent itu sendiri. Atribut tersebut secara massif disebar diberbagai tempat untuk menjaga popularitas si incumbent. Ini strategi yang kurang tepat. Sebab seorang incumbent seharusnya memaksimalkan masa akhir periode dengan kebijakan yang populis yang secara nyata meningkatkan positioning di mata rakyat. yang percaya diri adalah incumbent yang percaya bahwa kualitas kinerja pemerintahannya adalah alat kampanye yang strategis dan efektif meraih simpati.
Bukan incumbent yang tak percaya diri yang sejak 1 tahun sebelum lengser sudah menghabiskan uang rakyat hanya untuk membuat baliho dan alat peraga kampanye lainnya. Strategi penyebaran baliho justru menghadirkan antipati bukan simpati, sebab dianggap incumbent melakukan pelanggaran, curi start kampanye, dll.
Mundurnya incumbent sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2008, Perubahan Kedua atas Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 58 (q) yang berbunyi “mengundurkan diri sejak pendaftaran bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang masih menduduki jabatannya”
Secara etika dan moral dalam rangka menjaga netralitas PILKADA, sebaiknya incumbent, harus mundur apabila niat dan keinginan yang sungguh-sungguh ingin mencalonkan diri, sehinga segala sesuatu yang berbau pemerintah terlepas dari calon sang incimbent, dan akan memberikan kontribusi dalam peningkatan kualitas pilkada antara lian.
1. Akan tercipta ruang kemandirian dan netralitas birokrasi bisa lebih terjamin, Birokrasi bisa bertindak netral dan rasional sepertinya mudah terwujud ketika incumbent secara elegan mundur. Terjebaknya birokrasi dalam proses dukung mendukung yang terjadi dalam pilkada tak lepas dari kuatnya mental patriarkhi di kalangan birokrasi.
2. Pelaksanaan Pilkada akan fair, sehingga competiosi akan berjalan tanpa ada kecurugaan Gejala unfairness dalam pilkada biasanya mempercepat munculnya konflik. Khususnya di level birokrasi yang mengalami pengkotakan.
3. Terjaminnya netralitas penyelenggaran pilkada. Biasanya, relasi yang cukup dekat antara birokrasi dengan penyelenggara pilkada sering memposisikan penyelenggara pilkada tidak netral. Khususnya penyelenggara di level bawah seperti PPK dan PPS.
4. Untuk menjamin akuntabilitas pemerintahan yang sedang berlangsung. Tak dapat dipungkiri, memberikan sinyalemen kondisi keuangan negara begitu mudah dimanipulasi oleh incumbent yang sedang terlibat dalam pilkada.
Harapan kita semua, PILKADA Tahun 2008, diharapkan tanpa incumbent, karena Balon/Calon Incumbent telah mundur pada saat sudah serius ingin menjadi calon dalam PILKADA 2008.
Wahai Bocah Nakal, Jangan pernah bibirmu tertutup
BalasHapusBicarakan semua yang kau rasakan
Cinta itu kita yang rasa
Bila sengsara hati kan merana
Biar cinta membelai indah
Telaga di kalbumu
Jujurlah pada hatimu