Kamis, 27 Desember 2007

KABUPATEN KONSERVASI

Perambahan dan Illegal Logging yang menimbulkan kerugian triliyun rupiah, bukan hanya di areal hutan produksi, hutan lindung, bahkan menyarah sampai kawasan Konservasi, yang merupakan ancaman bagi lingkungan hidup dan berdampak secara global, kondisi ini sangat memprihatinkan, disamping kerugian negara dan lebih memprihatinkan dampak lingkungan dan mutu lingkungan yang multiflier efect.

Untuk menyelamatkan kawasan Konservasi, Pemerintah telah menempuh berbagai cara baik melalui pemberdayaan masyarakat, penguatan institusi pengelolaa kawasan konservasi. Pengamgamanan terpadu, dll, dengan hasil yang belum begitu bisa dinikmati oleh masyarakat dan Pemerintah Kabupaten/Propinsi yang berada di sekitar kawasan Konservasi.

Hal ini diksebabkan adanya pemberlakuan yang secara riil belum adil, dimana era otonomi daerah semua wilayah memiliki hak dan tanggung jawab untuk mensejahterakan masyarakat melalui pemanfaatan potensi SDA daerah, dilain pihak Kabupaten yang memiliki kawasan konservasi dalam memperoleh PAD sangat terbatas untuk bisa memanfaatakn potensi SDA secara eksploitatif, karena bentang alam kawasan mengharuskan pengelolaan melalui aspek konservasi untuk melindungi wilayah Kabupaten sendiri dan Kabupaten Lainnnya yang berada di sekitarnya.

Kondisi ini membuat dilema dalam pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia, tentunya untuk mengatasi permasalahan ini memerlukan kearifan dan kebjiakan yang berpihak kepada masyarakat, terutama masyarakat dan Pemkab yang memiliki kawasan Konservasi dalam upaya menggerak roda pembangunan dan mensejahterakan masyarakat dengan tetap berprinsip pemanfaatan yang lestari.

Era Globalisasi, dalam pengelolaan Hutan di Indonesia, secara logika menimbulkan suatu penafsiran ketidak adilan, setiap kayu yang ditebang secara legal dikenai pengutan provisi sumber daya alam dan dana reboisasi yang dikembalikan kepada daerah penghasil sesuai prosentase yang telah ditentukan, untuk mereahabilitasi kawasan yang sudah ditebang, ini memacu Daerah untuk berlomba-lomba menebang hutan yang menjadi kewenangannnya, dengan harapan dana yang akan dikembalikan juga akan besar. Kondisi ini menimbulkan ironis bagi Kabupaten yang tiodak memiliki kawasan hutan yang bisa menghasilkan kayu illegal, tentunya akan membawa konsewensi dana untuk Pembangunan juga relatif tidak ada.

Permasalahan ketidak adilan tersebut menimbulkan gagasan dan Ide untuk membentuk sebuah Kabupaten Konservasi dan Dana Alokasi Khusus Konservasi merupakan suatu hal yang memerlukan pemahaman dan pemihakan kepada masyarakat dan Pemerintah Kabupaten, dalam konsep Kabupaten Konservasi memerlukan komitmen dan konsekwensi Peningkatan PAD yang saling sinergis antara pemanfaatan yang lestari dan pembangunan ekonomi.

Pembentukan Kabupaten Konservasi menjadikan masyarakat dan pemkab lebih memiliki komitmen untuk menyelamatkan hutan konservasi dan komitmen untuk mensejahterakan masyarakat, sehingga Kabupaten Konservasi melalui mekanisme Dana Alokasi Khusus Konservasi, antara lain Kabupaten Konservasi mendapat pembagian yang sama dengan daerah penghasil kayu yang memiliki areal Konversi dan Hutan Produksi, peluang untuk menjual jasa lingkungan dalam bentuk Carbon trade, air, dan kontribusi internasional dalam bentuk Payment for Enviromental Service – PES ( {Pembayaran untuk setiap jasa yang berkenaan dengan lingkungan)

Beberapa Kabupaten yang memiliki indikasi Hight Conservation Value Forest (HCVF), telah ditetapkan dan akan mengajukan diri sebagai Kabupaten Konservasai, seperti Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Malinau, Kabupaten Murung Mas, Kabupaten Murung Jaya (Kalimantan), Kabupaten Lebong dan beberapa Kabupaten yang berada disekitar Taman Nasional.

Sehingga beberapa Kabupaten yang memiliki kawasan Konservasi berteriak bahwa ” Mana konpensasi ?”, merupakan suatu hal yang sangat wajar, karena mereka hanya menjadi lilin untuk memberikian kontribusi ekologis bagi Kabupaten lain dan dunia, sementara mereka belum bisa memanfaatkan potensi tersebut secara optimal untuk kepentingan pembangunan.

Namun perangkat hukum di pemerintah Pusat untuk menjawab tantangan ini belum ada, kondisi ini menjadikan dilematis, sementara hutan konservasi yang menjadi ciri dari Negara Indonesia perlu diselamatkan, namun perangkat untuk Kabupaten Konservasi masih dalam proses

Kabupaten Konservasi dengan mekanisme yang akan diatur dalam perangkat hukum, menjadi suatu solusi untuk menyelamatkan hutan di Indonesia, sekaligus menjawab tantangan bahwa masyarakat dan pemkab yang dilingkungi oleh Kawasan Konservasi juga memiliki hak dan tanggung jawab untuk hidup yang layak di bumi persada Indonesia (by Syamsul Bahri, SE, Pengamatan Lingkungan, email : bahritnks@telkom.net)

Rabu, 12 Desember 2007

BERKACA DICERMIN RETAK

Era otonomi daerah yang diimplementasikan sejak Januari 2001, secara fundamental akan menyusun ulang bentuk hubungan antara pemerintah pusat di Jakarta dan otoritas lokal dalam semua sektor, termasuk sektor kehutanan. Otoritas propinsi dan Kabupaten menjadi semakin menolak inisiatif-inisiatif gaya lama yang diatur dari pusat. Pada saat yang bersamaan, pemerintah pusat tetap bertanggung jawab atas kawasan yang di Konservasi. Dalam banyak kasus, hal ini menjadikan lumpuhnya manajemen kawasan Konservasi. Meskipun kepastian soal kekuasaan hukum di kawasan Konservasi antara pemerintah pusat dan otoritas tingkat daerah sudah jelas, namun kepentingan PAD membuat management konservasi menjadi tidak kuat, kecenderungan desentralisasi membuka pintu terhadap peningkatan partisipasi lokal dalam hal alokasi dan manajemen sumber-sumber daya alam dan peningkatan tanggung jawab pemerintah di tingkat lokal. Namun, jika tidak dilaksanakan dengan baik, desentralisasi juga menaruh risiko besar terjadinya percepatan kerusakan lingkungan.

Keadaan kawasan konservasi yang terus memburuk dan cepatnya kerusakan hutan dataran rendah sampai dataran tinggi merupakan ancaman umum terhadap keanekaragaman hayati Sumatera yang nampak nyata. Sebenarnya para pemimpin politik dan eksekutif handak bercermin dengan cermin yang benar, tidak bercermin di kaca retak, dengan kondisi yang sudah terjadi saat ini, dimana tempat di wilayah Indonesia bahkan dunia mengalami bencana, karena faktor lingkungan dan daya lenting lingkungan yang sudah tidak mampu lagi, kenyataannya, para pemimpin saat ini justru bercermin di kaca retak, bencana yang menimpa justru ingin diciptakan dengan membuat kebijaksanaan yang cenderung tidak berfihak pada lingkungan yang akan memperbesar bencana yang akan timbul dimasa yang akan datang, kebijakan yang sangat tidak berfihak pada lingkungan antara lain merencanakan pembangunan memotong kawasan konservasi, mengksploitasi kawasan tersebut menjadi lahan pertambangan, perkebunan, menjadikan lahan tersebut menjadi areal transmigrasi, jelas kawasan tersebut dilindungi oleh Undang-Undang, seakan-akan era otonomi membutakan kan mata dan menghalalkan cara hanya untuk memenuhi PAD jangka pendek selama rezin mereka berkuasa, dan bagimana pemimpin berikutnya menerima akibat baik akibat opportunity cost, maupun bencana yang discenerio dimasa yang akan datang Sebelum membicarakan ancaman-ancaman pokok lainnya, penting untuk mempertimbangkan penyebab-penyebab utamanya:

1. Kurangnya kemauan politik. Meskipun deklarasi-deklarasi di tingkat nasional telah mengarah pada penghentian pengrusakan hutan yang illegal dan perdagangan satwa liar yang ilegal, hanya ada sedikit kemauan politik atau perhatian yang terorganisir baik untuk melakukan hal yang sama pada tingkat lokal. Bahkan cenderung Kemauan politik tingkat regional dalam bentuk deklarasi serta kesepakatan baik menghnetikan Illegal loging, perburuan satwa, maupun deklarasi pelestarian kawasan konservasi cenderung merupakan lip servise dan sangat tidak ada kemauan untuk mengimplementasikan

2. Kemiskinan. Kemiskinan yang terstruktur akibat kebijakan yang tidak berfihak pada lingkungan masa yang akan datang lebih besar

3. Korupsi, kolusi dan nepotisme. Penyalahgunaan wewenang untuk mendapatkan keuntungan pribadi merupakan warisan yang telah merajalela dan banyak didokumentasikan sejak dulu. Keterlibatan berbagai pihak dalam pengrusakan sumber-sumber daya hutan.

4. Penegakan hukum yang tidak berfungsi. Tiadanya penegakan hukum, khususnya dalam sektor kehutanan, telah umum diketahui, bahkan dalam pernyataan-pernyataan resmi oleh Menteri Kehutanan Indonesia.

5. Dorongan kuat terhadap pembabatan dan perubahan fungsi hutan. Keuntungan dari industri minyak kelapa sawit dan kebangkrutan industri kertas dan bubur kertas, mendorong terjadinya pembabatan, pembakaran dan perubahan fungsi hutan dalam skala besar, proses pembalakan dan perubahan fungsi tersebut memberikan mata pencaharian bagi masyarakat lokal, yang meskipun tidak sah namun sangat dibutuhkan.

6. Dorongan terhadap upaya konservasi tidak memadai. Nilai dari layanan-layanan ekologis (misalnya pengendalian banjir, fungsi-fungsi aliran air, dan pemanfaatan hasil-hasil hutan yang diatur dengan baik) tidaklah dipahami dengan baik, sementara hukuman terhadap pembabatan hutan yang ilegal kurang memadai.

Kondisi menyebabkan terparah karena terjadi

1. Penebangan Kayu Legal dan Ilegal Pemanfaatan hasil hutan baik kayu maupun non-kayu yang tidak sah dan ilegal terjadi merajalela di seluruh Sumatera, terkadang mendapat dukungan dari militer, polisi , serta industri-industri perkayuan, kertas dan bubur kertas. Harga kayu ilegal jauh lebih rendah dari kayu legal, sehingga operasi yang legal tidak mendapat keuntungan ekonomis. Situasi ini diperburuk oleh meningkatnya permintaan kayu dari Cina, sebagai akibat adanya larangan penebangan kayu di negara tersebut. Kayu ilegal dari Sumatera diselundupkan melalui Malaysia untuk memenuhi permintaan dari Cina, Amerika Utara, Eropa, dan Jepang. Industri kertas dan bubur kertas merupakan faktor utama ancaman yang terjadi akibat penebangan kayu..

2. Perkebunan Kelapa Sawit pemerintah daerah mempromosikan ekspansi dari perkebunan kelapa sawit. Beberapa Gubernur mengumumkan rencana untuk mengubah hutan menjadi kelapa sawit. Situasi ini mencerminkan besarnya rencana ekspansi kelapa sawit yang akan dilaksanakan di tempat lain, setidaknya di Propinsi Jambi, Riau dan di Sumatera utara. Pada saat yang bersamaan, kebakaran hutan banyak terjadi di seluruh Sumatera, khususnya di wilayah tengah dan selatan. Dengan meningkatnya harga minyak kelapa sawit, para pembangun perkebunan yang haus akan tanah di Sumatera dengan sengaja membakar hutan dengan skala wilayah yang luas.

3. Perdagangan Satwa dan Perburuan Liar Perdagangan satwa dan perburuan liar terjadi merajalela di Sumatera. Insentif keuangan untuk perburuan gelap sangat tinggi, sementara kesadaran dan penegakan hukum atas peraturan perdagangan satwa liar masih rendah..

4. Rencana dan Pembangunan Jalan Jalan merupakan rute dimana para penduduk dan truk-truk penebangan ilegal mendapat akses ke kawasan hutan yang dahulu terpencil, beserta semua spesies yang hidup di dalamnya. Jalan-jalan untuk penebangan hutan ini seringkali menjadi rute transportasi resmi yang diadopsi oleh pemerintah lokal. Di sebagian besar wilayah Sumatera, pembangunan jalan untuk penebangan ini menandai tahap pertama hilangnya hutan secara keseluruhan. Pemerintah lokal nampaknya cenderung untuk mengakomodasi konstruksi jalan sebagai suatu bentuk mendapatkan penghasilan. Gambar dari satelit mencatat ratusan jalan-jalan untuk penebangan melintasi jauh sampai ke dalam hutan-hutan Konservasi dan taman-taman nasional. Propinsi Aceh mempunyai rencana untuk membangun sistem jalan masuk, mulai dari Banda Aceh selatan sampai ke batas Ekosistem Leuser. Baru-baru ini, sebuah rencana pembangunan di Taman Nasional Kerinci Seblat, meskipun ada peraturan yang melarangnya. Secara umum, pola pembangunan jalan menunjukkan bahwa fragmentasi hutan yang lebih besar akan terjadi dalam waktu dekat.

5. Pertambangan Ledakan bisnis pertambangan dimulai pada tahun 90-an, telah menyebabkan pembangunan jalan di daerah yang dahulu terisolasi, pengrusakan hutan, banjir, dan polusi sungai, mengakibatkan kontaminasi di sistem sungai sekitar, hilangnya sumber-sumber daya air untuk penduduk desa sekitar, serta masih banyak kekuatiran lainnya.

Kondisi ini akan memperburuk mutu lingkungan, namun betapa besarnya managemen konservasi akan sangat sulit bisa mengatasi kondisi ini, apabila Pemerintah Kabupaten/Propinsi tetap bercermin di Kaca Rerak, tentunya akan menciptakan bahaya dan bencana lebih besar lagi dimasa yang akan datang.

Kondisi nyata, bencana bahorok, gempa dan tsunami aceh dan jogya, banjir Jakarta, lumpur panas Lapindo, banjir Riau, Jambi, Pulau, Sumatera Barat, kebakaran hutan hampir semua wilayah di Indonesia, kasus buyat, dan masih banyak lainnya.

kondisi ini justru hendaknya menjadi cermin bagi pejabat bagaimana meminimlkan bencana tersebut, jangan bercermina di kaca retak, yang membuat kebijakan yang tidak berorientasi pada lingkungan, apakah bercermin di kaca retak ini akan dilanjutkan .............................?

Kebutuhan adanya konservasi keanekaragaman hayati di Sumatera merupakan salah satu hal yang paling mendesak di planet ini, dalam meminialkan bencana.(Syamsul Bahri,S.E)bahritnks@telkom.net