Selasa, 29 April 2008

LARANGAN PNS BERPOLITIK

(harus dimaknai secara benar dan betul)
By. Syamsul Bahri, SE Pengamat, Conservationis di jambi dan Diosen STIE-SAK, syamsul_12@yahoo,co.id


Tahun 2008 merupakan tahun Pesta Demokrasi PILKADA di Propinsi Jambi, yaitu PILKADA Kota Jambi, Kerinci, Merangin, berbagai startegi dan trik untuk memnafaatkan PNS yang diperalatat dan ditekan dengan berbagai dalih, baik diperlatat oleh Balon, maupun ditekan oleh Pihak Penguasa untuk kepentingan calon yang didukung oleh Penguasa, dalam hal ini adalah PNS Non TNI dan Polri, dimana TNI dan POLRI netralitas mereka jelas tidak memiliki hak mimilih dan dipilih

Selaku PNS dan warga masyarakat, PNS (Non TNI dan POLRI) memiliki dua dimensi yaitu Dimensi pertama, seorang PNS berfungsi sebagai seorang pimpinan keluarga sehingga harus mampu berperan membina dan mengarahkan rumahtangganya untuk hidup layak dan sejahtera baik lahir maupun bathin. PNS sebagai seorang suami dan ayah berperan memenuhi kebutuhan hidup mereka dan membahagiakannya. Dalam fungsi social, setidaknya dapat berperan sebagai anggota masyarakat yang baik di lingkungannya. Untuk dapat menjalankan fungsi dan peran ini PNS harus memiliki kesadaran (awareness) yang tinggi agar dapat menjaga diri dalam menjalankan amanah sebagai pemimpin keluarga dan anggota masyarakat. Dimensi kedua, seorang PNS berfungsi sebagai abdi negara yang memiliki tiga peran : sebagai alat/aparatur negara, sebagai pelayan publik dan sebagai alat pemerintah. Untuk menyadarkan diri akan fungsi dan peran sebagai PNS sebaiknya seorang PNS memahami betul aturan-aturan tentang PNS dan pilkada. Beberapa ketentuan yang terkait dengan eksistensi PNS dalam pilkada diantaranya : (1) Pasal 3 UU Nomor 43 tahun 1999 tentang Parubahan atas Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 tentang pokok-pokok kepagawaian, dan (2) Pasal 66 PP 6/2005 dengan jelas pasangan calon dilarang melibatkan PNS. Dengan demikian, setiap PNS perlu mempertimbangkan secara cermat sebelum masuk ke salah satu partai politik. Hal itu mengingat resiko yang ditimbulkan adalah sangat berat yaitu diberhentikan sebagai PNS sesuai dengan surat penegasan Kepala BKN Nomor F.III.26-17/V.151-2/42 tanggal 15 Desember 2003

PNS (non TNI dan POLRI), memili hak politik untuk memilih, sehingga pemaknaan larangan berpolitik harus dimaknai dengan baik dan benar, sehingga penfasiran akan larangan berpolitik itu tidak membuat PNS (non TNI dan Polri) merasa dikebirikan dan diskriminatif, sehingga untuk memaknai dan memahami tentang larangan berpolitik bagi seorang PNS, adanya baiknya kita coba pahami menurut ketentuan yang ada. Ada beberapa sumber yang menyatakan hal-hal berkaitan dengan Politik PNS, antara lain (1)Peraturan Pemerintah No 37 Tahun 2004 tentang Larangan Pegawai Negeri Sipil menjadi Anggota Partai Politik, disini jelas bahwa PNS dilarang menjadi anggota Partai Politik, apalagi menjadi Pengurus partrai Politik. (2) ayat (1) Pasal 3 UU Nomor 43 tahun 1999 tentang Parubahan atas Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 tentang pokok-pokok kepagawaian, dan (2) Pasal 66 PP 6/2005 dengan jelas pasangan calon dilarang melibatkan PNS. Dengan demikian, setiap PNS perlu mempertimbangkan secara cermat sebelum masuk ke salah satu partai politik. (3) Surat penegasan Kepala BKN Nomor F.III.26-17/V.151-2/42 tanggal 15 Desember 2003. (4) Surat Edaran Menpan No: SE/08.A/M.PAN/5/2005 tentang netralitas Pegawai Negeri Sipil butir (1) Bagi PNS yang menjadi calon Kepala atau Wakil Kepala Daerah:(a) Wajib membuat surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri pada jabatan structural atau fungsional yang disampaikan kepada atasan langsung untuk dapat diproses seusai dengan peraturan perundang-undangan.(b) Dilarang menggunakan anggaran Pemerintah dan / atau Pemerintah Daerah.(c) Dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya. (d) Dilarang melibatkan PNS lainnya untuk memberi dukungan dalam kampanye. Dan butir (2) Bagi PNS yang bukan calon Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah (a)Dilarang Terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala atau Wakil Kepala Daerah.(b)Dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya dalam kegiatan kampanye. (c) Dilarang membuat keputusan dan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye.

Jadi secara jelas, menurut ketentuan tersebut, bukan melarang PNS berpolitik, tetapi melarang dengan segala konsekwensi bahwa PNS tidak dibenarkan menjadi anggota apalagi menjadi Pengurus Partai Politik (politik Praktis), sedangkan netralitas disini juga harus jelas, karena PNS masih memiliki hak pilih, tentunya untuk menentukan hak pilih dalam mewujudkan Pemimpin Pilihan rakyat, seorang PNS akan memberikan dan mempoengaruhi nilai suara yang akan diberikan, tentunya PNS diberi hak untuk mengetahui figur balon yang memenuhi sebagai Pemimpin Pilihan Rakyat

Namun kalau sekiranya seorang PNS yang menjadi calon Kepala atau Wakil Kepala Daerah, mereka harus mundur semenjak mereka sudah intens dengan Partai Politik dalam rangka lobi, karena sudah masuk PNS wilayah politik Praktis, kenyataan ini banyak terjadi pada saat ini, dan ini perlu diberi sanksi, sehingga jangan terjadi “maling teriak maling “
:
Kejadian sudah banyak terjadi PNS korban penguasa “Bayangkan ketika seorang PNS berbicara tentang pilkada, tak diperkenankan, diintimidasi, kesannya kegiatan politik sangat-sangat dilarang bagi PNS,” Padahal yang perlu diluruskan, pelarangan bagi PNS hanya dimaksudkan bagi kegiatan politik praktis. “Jangan salah kaprah, ketahuan berbicara masalah pilkada malah dimutasi, berbicara masalah pilkada kemudian disanksi.

Secara legal formal, PNS tidak dibenarkan untuk mejandi anggota dan Pengurus Partai Politik, dan ikut kampanye balon/colon, ini akan membuat keberfihakan PNS selaku Abdi Negara dan Abdi Masyarakat, jadi pelarangan PNS berpolitik, karena larangan berpolitik tersebut sudah membuat sebuah diskriminatif dan pelanggaran hak politik(**).

2 komentar:

  1. sedikit masukan om...
    dalam haerarki peraturan perundang-undangan berdasarkan UU Nomor 10 tahun 2004,kedudukan Undang-Undang/Perpu,peraturan pemerintah dan surat2 yang dikeluarkan pejabat negara berada dibawah Undang-Undang Dasar 1945,dan harus mengacu pada UUD 1945 tersebut. dalam ilmu perundang-undangan da teori yang menyebutkan lex specialis derogat lex generalis artinya peraturan yang lebih bersipat khusus (UU,perpu,PP,inpres,kepres,perda)tidak boleh bertentangan atau bertolak belakang dengan peraturan yang bersifat mendasar/pokok (UUD 1945) dan jika hal itu terjadi maka peraturan perindang-undangan tersebut dapat dibatalkan oleh hukum/tidak sah...peraturan yang melarang PNS mengikuti politik praktis hanya bersifat peraturan specialis sedangkan UUD 1945 yang bersifat peraturan yang mendasar/sumber hukum indonesia dalam pasal 28 menyebutkan bahwa setip warga negara mempunyai hak yang sama dalam berserikat berkumpul dan mengemukakan pendapat dengan kata lain melakukan kegiatan politik... jadi secara yuridis hal tersebut bertentanagn dengan konsitusi dan konsekuensinya peraturan etrsebut tidak sah...

    BalasHapus
  2. selamat atas terpilih nya putra daerah yang menjadi pemimpin semoga,semoga kedepan sakti alam kerinci lebih maju dan aman,tidak mementingkan diri sendri,seperti yang sudah-sudah!!!!!!!!!!(YOTI) hanya seseorang yang kenal nama ini

    BalasHapus