Kawasan hutan yang berfungsi konservasi baik hutan lindung, Cagar Alam, Suaka Marga Satwa dan Taman Nasional mengalami tekanan yang sangat kuat dari eksploitasi SDA baik legal maupun illegal, terutama perubahan terhadap bentang alamnya dan nilai kayu yang ada untuk kepentingan ekonomi yang capitalsme, baik dengan motivasi PAD, Kesejahteraan masyarakat, devisa maupun pemanfaatan masyarakat oleh Pemodal dalam merusak kawasan tersebut.
Hampir semua pejabat, eksekutif, legeslatif, pengusaha, memahami bahwa dalam kawasan konservasi nilai ekonomi tidak langsung lebih besar dari nilai ekonomi langsung untuk kesejahteraan masyarakat jangka panjang, apalagi dikaitkan dengan pemanasan global, dimana kawasan konservasi menjadi factor penting, namun kepentingan ekonomi sesaat dengan motivasi PAD, Devisa, mengabaikan nilai-nilai ekonomi tidak langsung yang cukup besar dalam jangka panjang, “oh konservasi oh konservasi”
Tekanan yang sedemikian besar tersebut menjadi persoalan dalam pengelolaan kawaasan konservasi oleh conservationis di Indonesia baik yang ada di Lembaga Pemerintah maupun non Pemerintah, disamping sebuah kebijakan yang dikeluarkan juga belum berfihak pada konservasi, konservasi bukan untuk conservationis, melainkan untuk keberlangsungan hidup yang namanya planet bumi dan isinya, namun di jajaran conservationis, secara bertahap komitmen Konservasi juga semakin menurun yang kian hari kian menghilang, karena disadari bahwa conservationis juga manusia.
Fakta untuk mendukung pernyataan tersebut diatas, bahwa conservationis dengan komitmen konservasinya semakin menurun, dan conservationis memahami bahwa lapangan kerja mereka tidak mungkin di kota, melainkan di hutan dan di hutan (atau dibukota Kabupaten yang berada di pinggir hutan), kenyataan banyak conserationis lebih cenderung ingin hidup di kota (bukti melemahnya komitmen konservasi), hal ini lebih disebabkan oleh kenyamanan dalam melaksanakan tugas di daerah terpencil yang nota bene jauh dari Keluarga dan kebutuhan non financial dengan keluarga tidak bisa diabaikan, sehingga komitmen konservasi dijadikan sebuah komitmen yang no urut ke sekian, ini suatu kewajaran sebagai manusia, dan ini menjadi problem dalam pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia, sehingga tekanan dan kegiatan illegal dalam kawasan konservasi sangat sulit untuk diminimalkan, apalagi untuk dihentikan.
Kenyamanan dalam melaksanakan tugas, apalagi tugas konservasi yang lebih dekat dengan tugas yang diembankan belum memberikan kontribusi langsung secara ekonomi kepada masyarakat, dan cenderung menantang arus dalam otonomi daerah menjadikan seorang conservationis dalam sebuah dilemma yang besar, membutuhkan pengorbanan, tentunya untuk mengoptimalkan komitmen konservasi dalam melestarikan kawasan konservasi pola rekretmen dan mutasi baik mutasi horizontal maupun vertical menjadi kata kunci dalam memenimalkan kerusakan kawasan konservasi, secara prinsip conservationis membutuhkan kenyamanan dalam melaksanakan tugas baik secara financial, maupun secara fsikologi, sosialogi, tentunya kedekatan dengan keluarga menjadi bahan pertimbangan utama disamping factor financial, sehingga pola rekrutmen dan mutasi akan lebih baik mempertimbangan factor keluarga dan kedekatan secara social dan cultural dengan masyarakat yang berada disekitar kawasan konservasi, tentunya penilaian komitmen konservasi yang menjadi fajktor utama dalam rekrutment dan mutasi tersebut, dengan tidak mengabaikan factor kesejahteraan, karena conservationis juga manusia.
Hampir semua pejabat, eksekutif, legeslatif, pengusaha, memahami bahwa dalam kawasan konservasi nilai ekonomi tidak langsung lebih besar dari nilai ekonomi langsung untuk kesejahteraan masyarakat jangka panjang, apalagi dikaitkan dengan pemanasan global, dimana kawasan konservasi menjadi factor penting, namun kepentingan ekonomi sesaat dengan motivasi PAD, Devisa, mengabaikan nilai-nilai ekonomi tidak langsung yang cukup besar dalam jangka panjang, “oh konservasi oh konservasi”
Tekanan yang sedemikian besar tersebut menjadi persoalan dalam pengelolaan kawaasan konservasi oleh conservationis di Indonesia baik yang ada di Lembaga Pemerintah maupun non Pemerintah, disamping sebuah kebijakan yang dikeluarkan juga belum berfihak pada konservasi, konservasi bukan untuk conservationis, melainkan untuk keberlangsungan hidup yang namanya planet bumi dan isinya, namun di jajaran conservationis, secara bertahap komitmen Konservasi juga semakin menurun yang kian hari kian menghilang, karena disadari bahwa conservationis juga manusia.
Fakta untuk mendukung pernyataan tersebut diatas, bahwa conservationis dengan komitmen konservasinya semakin menurun, dan conservationis memahami bahwa lapangan kerja mereka tidak mungkin di kota, melainkan di hutan dan di hutan (atau dibukota Kabupaten yang berada di pinggir hutan), kenyataan banyak conserationis lebih cenderung ingin hidup di kota (bukti melemahnya komitmen konservasi), hal ini lebih disebabkan oleh kenyamanan dalam melaksanakan tugas di daerah terpencil yang nota bene jauh dari Keluarga dan kebutuhan non financial dengan keluarga tidak bisa diabaikan, sehingga komitmen konservasi dijadikan sebuah komitmen yang no urut ke sekian, ini suatu kewajaran sebagai manusia, dan ini menjadi problem dalam pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia, sehingga tekanan dan kegiatan illegal dalam kawasan konservasi sangat sulit untuk diminimalkan, apalagi untuk dihentikan.
Kenyamanan dalam melaksanakan tugas, apalagi tugas konservasi yang lebih dekat dengan tugas yang diembankan belum memberikan kontribusi langsung secara ekonomi kepada masyarakat, dan cenderung menantang arus dalam otonomi daerah menjadikan seorang conservationis dalam sebuah dilemma yang besar, membutuhkan pengorbanan, tentunya untuk mengoptimalkan komitmen konservasi dalam melestarikan kawasan konservasi pola rekretmen dan mutasi baik mutasi horizontal maupun vertical menjadi kata kunci dalam memenimalkan kerusakan kawasan konservasi, secara prinsip conservationis membutuhkan kenyamanan dalam melaksanakan tugas baik secara financial, maupun secara fsikologi, sosialogi, tentunya kedekatan dengan keluarga menjadi bahan pertimbangan utama disamping factor financial, sehingga pola rekrutmen dan mutasi akan lebih baik mempertimbangan factor keluarga dan kedekatan secara social dan cultural dengan masyarakat yang berada disekitar kawasan konservasi, tentunya penilaian komitmen konservasi yang menjadi fajktor utama dalam rekrutment dan mutasi tersebut, dengan tidak mengabaikan factor kesejahteraan, karena conservationis juga manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar