Negeri yang namanya Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai sebuah negeri Zamrud di khatulistiwa, Negerinya kolam susu (kata Koes Plus) semua bisa tumbuh, Negara yang terkenal kaya akan SDA, ternyata permaslahaan kemiskinan menjadi persoalan yang sangat rumit, negeri yang berbasis agraris, pertanian, ternyata harus mengimport beras, gula pasir, susu, dll suatu hal yang cukup ironis, sehingga pertanyaan diatas cukup menggelitik semua pihak, baik ekonom, eksekutif, dan legislative, LSM, dan pertanyaan tersebut tidak hanya menggelitik, tetapi membutuhkan jawaban, sementara ini jawaban itu belum jelas dan belum akurat.
Sudah banyak pakar ekonom mencoba menafsirkan kemiskinan melalui Indicator kemiskinan, solusi kemiskinan, penyebab kemisikinan, namun pengentasan kemiskinan belum bisa tuntas, bahkan cenderung meningkat di
Perlu kita simak pertanyaan Prof Mubyarto mempertanyakan hal yang lebih mendasar “Apakah kriteria kemiskinan diperlukan pemerintah, dan apakah perlu indikator tertentu bagi keluarga miskin? Apa gunanya indikator atau kriteria kemiskinan? Apakah agar program-program penanggulangan kemiskinan lebih mengena sasaran? Jika kebijakan-kebijakan, strategi dan program-program penanggulangan kemiskinan selama ini ternyata tidak efektif mencapai sasaran, apakah berarti kriteria kemiskinan yang dipakai tidak tepat atau indikatornya keliru?
Dari beberapa catatan diatas, belum jelasnya Indikator Kemiskinan, sehingga dengan ketidak jelasnnya indikator kemiskinan, membuat program-program penanggulangan kemiskinan belum mengena sasaran?, kenyataan ini, walaupun berbagai departemen memiliki program pengentasan kemiskinan, ternyata pengentaskan kemiskinan belum berhasil.
Dari Pengamatan dan evaluasi penulis, Identifikasi permasalahan kemiskinan dari berbagai pandangan, masyarakat merupakan sesuatu hal yang sangat perlu untuk menjadikan Indikator kemiskinan secara terpadu, tentunya penyebab kemiskinan dan strategi pengentasan kemiskinan juga akan dimunculakn dalam hasil Identifikasi kemiskinan.
Pengertian dan Indicator Human Development Report (HDR) adalah satu konsep yang melihat pembangunan secara lebih komprehensif, di mana pembangunan harus menjadikan kesejahteraan manusia sebagai tujuan akhir, bukan menjadikan manusia sebagai alat pembangunan. Di dalam konsep ini, juga dijelaskan bahwa pembangunan manusia pada dasarnya adalah memperluas pilihan-pilihan bagi masyarakat. Hal yang paling penting di antara pilihan-pilihan yang luas tersebut adalah hidup yang panjang dan sehat, untuk mendapatkan pendidikan dan memiliki akses kepada sumber daya untuk mendapatkan standar hidup yang layak. Pilihan penting lainnya adalah kebebasan berpolitik, jaminan hak asasi manusia dan penghormatan secara pribadi, sehingga Indicator Human Development Report (HDR) bahwa pembangunan harus terfocus pada tujuan akhir menjadikan kesejahteraan manusia
Untuk mewujudkan tujuan akhir pembangunan dalam rangka mengetaskan kemiskinan, harus jelas Indikator dan penyebab kemiskinan.
Dari Index Kemiskinan Manusia atau Human Poverty Index (HPI), kemiskinan di Indonesia semakin bertambah, untuk mengatasi kemiskinan telah dilakukan dan akan terus dilakukan kegiatan pengentasan kemiskinan melalui program pengentasan, namun jumlah kemiskinan semakin bertambah, sehingga timbul pertanyaan ”Ada apa dengan kemiskinan Indonesia ?” beberapa kemungkinan jawaban antara lain ”Apakah tujuan dan fokus pembangunan yang belum tepat ? (sesuai dengan potensi yang ada), ”Apakah Indikator dan penyebab kemiskinan yang belum jelas ?”, kalau keduanya belum jelas tentunya program pengentasan kemiskinan jega tidak akan menghasilkan hasil yang diharapkan
Debagaimana statemen Duta Besar PBB untuk Millenium Development Goals (MDGs) Asia Pasifik, Erna Witoelar menyatakan perusakan lingkungan menyebabkan masyarakat semakin miskin karena rusaknya sumber daya potensial. "Angka kemiskinan akan terus naik seiring dengan kerusakan lingkungan," Berdasarkan hasil evaluasi program MDGs di Asia Pasifik, tahun 2006 Indonesia dinilai mengalami penurunan pencapaian target MDGs. "Penurunannya sangat parah," kata dia dalam diskusi "Pemenuhan dan Pemulihan Keadilan Ekologis,". Penyebab utamanya adalah bencana alam akibat kerusakan ekologis dan konflik politik. Mundurnya pencapaian pembangunan itu, kata dia, menyebabkan masyarakat semakin miskin, akses pada sarana pendidikan dan kesehatan minim dan lingkungan yang semakin rusak.
Memang kenyataan ini, belum banyak dilirik dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia, sehingga beberapa kajian Indikator dan penyebab kemiskinan serta upaya pengentasan kemiskian secara lintas sektoral di Indonesia aspek ekologis sangat minim diperhatikan terutama mengurangi kerusakan ekologis seperti deforestrasi, bahkan di era otonomi daerah, banyak keinginan untuk melakukan kegiatan Investasi yang cenderung tidak memperhatikan aspek ekologis/Sumber Daya Alam, namun hanya memperhatikan aspek ekonomi untuk mendapatkan fuinancial benefit sebesar-besarnya atau Pendapatan Asli Daerah (PAD) semata-mata selama berkuasa dan mengabaikan Penilaian ekonomi Sumber Daya Alam (yang memiliki dimensi non administrtif bahkan berdeimensi regional dan global), sehingga kerusakan ekologis sebagai suatu penyebab kemisikinan terbesar baik di desa maupun di kota secara bertahap dan kontinyu serta pasti
Fakta ini sudah dibuktikan dengan kerusakan hutan baik secara legal melalui Hak pengusahaan Hutan, Pertambangan dan investasi lain membawa dampak akses ekonomi masyarakat pinggir hutan terbatas, bahkan menjalar ke daerah hilir, yang akan membawa pengaruh pada masyarakat secara ekonomi menurun dan dampak ekologis lainnya yaitu bencana alam banjir dan kekeringan, dan penyakit, sedangkan sumber Pendapatan masyarakat utama adalah pertanian, dan akan membawa pengaruh secara regional terhadap pusar-pusat ekonomi yang ada di kota.
Kalau kita simak statemen Pengamat ekonomi Rizal Ramli menilai perbaikan ekonomi bisa dilakukan seiring dengan perbaikan ekologis dengan syarat ada perbaikan kesejahteraan. Oleh karena itu, yang harus diprioritaskan oleh pemerintah adalah meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan perkapita.
Kemiskinan dan kerusakan ekologis sesuatu yang sangat sulit dipisahkan, karusakan ekologis menyebabkan kemiskinan, sebaliknya kemiskinan menyebabkan kerusakan ekologis semakin tinggi, sehingga faktor ekologis merupakan salah satu faktor utama penyebab kemiskinan Indonesia. Menurut pemimpin spiritual India Mahatma Gandhi pernah mengingatkan, Bumi menyediakan cukup kebutuhan seluruh umat manusia, tapi bukan untuk kerakusan. Memang, orang-orang yang rakus senantiasa tidak pernah puas dan merasa kurang, sekalipun sudah berkelimpahan. Peringatan Mahatma Gandhi sangat relevan dengan situasi global, lebih-lebih saat ini. Kerakusan tidak hanya menciptakan kemiskinan bagi sesama manusia, tapi juga bisa merusak alam. Keserakahan membuat alam dieksplorasi secara berlebihan, yang akan menimbulkan bencana, hanya melihat alam sebagai sumber financial semata-mata, sedangkan alam merupakan ekolgis yang memiliki nilai ekonomi tidak langsung yang mendukung nilai ekonomi secara langsung.
Bencana dapat didefinisikan adalah suatu situasi dimana cara masyararakat untuk hidup secara normal telah gagal sebagai akibat dari peristiwa kemalangan luar biasa, baik karena peristiwa alam ataupun perbuatan manusia, bencana tersebut menyebabkan menjadi bencana pembanganunan sebagai gabungan faktor krisis lingkungan akibat pembangunan dan gejala alam itu sendiri, yang diperburuk dengan perusakan sumberdaya alam dan lingkungan serta ketidakadilan dalam kebijakan pembangunan social ekonomi, dari beberapa sumber dan fakta lapangan, bahwa kerusakan ekologis mejadi salah satu factor utama kemiskinan di Indonesia, hal ini dibuktikan Di pesisir Jawa, sampai akhir tahun 2003, jumlah desa terkena banjir meningkat 3 kali lipat yaitu 2.823 desa dibandingkan tahun 1996-1999, yang juga merupakan implikasi dari rusaknya ekosistem pesisir akibat dari konversi lahan, destructive fishing, reklamasi, hingga pencemaran laut (dimana 80% industri di Pulau Jawa berada disepanjang pantai utara Jawa). kekeringan adalah bencana lain yang semakin kerap terjadi di Indonesia. Belakangan ini musim kemarau di Indonesia semakin panjang dan tidak beraturan, meski secara geografis dan alamiah Indonesia berada di lintasan Osilasi Selatan-El Nino (ENSO), misalnya kemarau 2003 termasuk normal, namun tercatat 78 bencana kekeringan di 11 propinsi, dengan wilayah yang terburuk dampaknya adalah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dampak kekeringan yang utama adalah menurunnya ketersediaan air, baik di waduk maupun badan sungai, yang terparah adalah pulau Jawa. Dampak lanjutannya adalah pada sektor air bersih, produksi pangan serta pasokan listrik. Kekeringan juga terkait dengan kebakaran hutan, karena cuaca kering memicu perluasan kebakaran hutan dan lahan serta penyebaran asap
Bencana tersebut bukan hanya pada korban jiwa dan benda, namun berdampak pula pada produksi pertanian, tercemarnya sumber air serta masalah sosial yang lebih luas seperti pengungsi dan migrasi penduduk. Walaupun kekerapan bencana meningkat secara signifikan beberapa tahun terakhir ini, pemerintah tidak melakukan kajian menyeluruh mengenai pola dan penyebab bencana tersebut, yang akan menyenbabkan kemiskinan secara bertahap akan bertambah, sedangkan upaya pengentasan telah dilakukan, namun minim sekali melihat aspek ekologis, sehinga pengentasan kemiskinan cenderung dilakukan mengabaikan aspek ekologis, sehingga penyelesaian kemiskinan tidak komprehensif dan terpadu.
Jika tidak segera diambil langkah bersama secara cepat dan simultan, kehancuran akan semakin parah. Kemiskinan dan kehancuran ekologis akan terus merebak. Bencana kehancuran ekologis tidak lagi dalam hitungan ratusan atau puluhan tahun, tapi malah dalam hitungan satu generasi.
Masalah kerusakan lingkungan di Indonesia lebih rumit, dimana di era otonomi daerah, peraturan dan kebijakan belum sepenuh berpihak penuh pada ekologis dan menghentikan kerusakan serta mengembalikan fungsi ekologis, karena peraturan dan kebijakan merupakan lanjutan dari kebijakan pemerintah sebelumnya yang mengeksploitasi SDA untuk kepentingan financial semata-mata, yang menuntut agar daerah dapat lebih besar menikmati hasil eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan yang dapat memicu motivasi negatif untuk mengeksploitasi terus-menerus demi kepentingan jangka pendek bahkan saat ini kecenderungan terjadi eksploitasi SDA dengan beragai alasan untuk mengeksploitasi hutan bahkan mengancam hutan konservasi untuk mendapatkan dan menggelembungkan PAD tanpa memperhatikan dampak dari kegiatan tersebut jangka panjang, Hingga hari ini masih tampak jelas adanya konflik pengelolaan/penggunaan sumber daya alam, terlalu kuatnya ego sektoral, lemahnya koordinasi dan penegakan hukum, lemahnya kepekaan SDM, dan alasan klasik terbatasnya dana dalam mengelola lingkungan hidup. Dengan mengatasnamakan upaya untuk keluar dari krisis ekonomi ataupun investasi, aktivitas ekonomi yang memperkosa alam seakan memperoleh pembenaran. Upaya konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup dikorbankan atau bahkan dijadikan tumbal untuk menutup kerugian ekonomi.
Ditambah lagi fakta politik di Indonesia, untuk menjadi pimpinan daerah dan nasional bahkan anggota legeslatif melalui pemilihan dengan biaya tinggi, tentunya peluang pimpinan dan anggota legeslatif lebih cenderung berinvestasi pada kegiatan politik, yang sebelumnya berusha untuk meruebut dan mempertahankan kekuasanan dengan mebayar mahal dan mendapat keuntungan setelah menjabat cenderung menjadi incaran bagi orang kaya menduduki jabatan politik.
Pembangunan pada masa lalu sampai sekarang memang cenderung untuk meminimalkan nilai lingkungan bahkan menghilangkannya, yaitu semenjak tahun 1971 Hutan dijadikan areal HPH sebagai modal Pembangunan yang menghasilkan devisa utama dalam pembangunan, dan pembangunan perkotaan, Industrial dll. lingkungan dan ekosistem yang ada banyak dialihfungsikan untuk kepentingan ekonomi semata-mata, sehingga keadaan lingkungan suatu daerah berkembang dan memberikan nilai ekonomi jangka pendek, namun secara ekologi dan ekonomi menurun dalam jangka panjang. Ekologi diabaikan, padahal nilai ekologi lebih penting daripada perkembangan nilai ekonomi jangka pendek. Sehingga tidak mengherankan terganggunya keseimbangan ekosistem, langsung maupun tidak langsung seperti meningkatnya suhu udara di perkotaan, pencemaran udara (meningkatnya kadar karbonmonoksida, ozon, karbondioksida, oksida nitrogen, belerang, dan debu), menurunnya air tanah dan permukaan tanah, banjir atau genangan, instrusi air laut, meningkatnya kandungan logam berat dalam air tanah, dan masih banyak lagi dampak lainnya yang ada ataupun yang belum terasa baik secara regional maupun global.
Sistim ekonomi kapitalis dalam permasalahan pembangunan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan, akan menuju kepada permasalahan ekonomi dan sosial-budaya dalam jangka panjang. Hubungan manusia dengan lingkungan “sebagai penguasa alam” membuat alam tidak harmonis dan tak seimbang akan turut juga memicu krisis sosial-budaya, yang muncul diawali degradasi lingkungan di sekitar suatu obyek ekologi justru akan menciptakan ekonomi biaya tinggi. Yang melahirkan opportunity cost baik Perusahaan maupun masyarakat bagaimana memperoleh air bersih atau melakukan treatment untuk udara dan air yang tercemar, banjir, kekeringan, longsor, dll hal ini tentunya diikuti dengan terjadinya krisis sosial-budaya termasuk kesehatan masyarakat di sekitar obyek/perusahaan tersebut. Bahwa Sumber daya alam merupakan sumber dan tata kehidupan yang memberikan ecological benefit, economical benefit, dan social benefit. Yang merupakan tolok ukur pembangunan yang menjadi acuan bagi Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan, dimana manusia menjadi bagian dari lingkungan yang akan saling mempengerahuhi tatanan sosial, budaya dan ekonomi, karena tanpa SDA manusia tidak akan bisa hidup di planet ini
Pembangunan dalam mewujudkan kesejahteraan yang madani tidaklah cukup mengandalkan pendekatan ilmu ekonomi konvensional semata. Kegagalan-kegagalan pembangunan ekonomi di negara berkembang, diakibatkan berbagai degradasi sumber daya alam serta lingkungan tidak bisa semata-mata didekati dari kebijakan ekonomi fiskal dan moneter. Misalnya penghitungan nilai-non pasar sebuah pohon, yang umumnya diukur nilai ekonomi kubikasi kayu dengan menebang dan menjual kayunya saja. Melalui perhitungan Penilaian Ekonomi Sumber Daya Alam (PESDA) pohon yang dibiarkan dianggap tak memiliki nilai ekonomis sama sekali. Padahal pohon hidup ini bila dikonversi/diuangkan dengan memperhitungkan nilai ekologi akan memiliki nilai ekonomis yang jauh lebih tinggi. Nilai non-market tersebut misalnya keteduhan, kesejukan, kesuburan tanah, tempat bersarang berbagai burung dan hewan serta keseimbangan dan kelestarian alam. Penempatan nilai ekologi dalam ekonomi yang sebenarnya juga sangat diperlukan dalam menghitung kerugian seperti akibat pencemaran lingkungan yang dilakukan suatu perusahaan, kerusakan hutan, kerusakan lahan, pantai, laut dan sebagainya.
Manusia memang tidak bisa lepas dari ekosistem yang besar (planet bumi) sebagai penyedia jasa dan produk dari kehidupan manusia itu sendiri. Salah satu pernyataan seorang militer Prussia, Carl von Clausewitz (1780-1831) ekonomi terlalu penting untuk diserahkan pengelolaannya hanya kepada para ekonom saja. Sementara itu, arus utama pemikiran ekonomi terlalu menitikberatkan pada pelaku sosial (social sphere/anthropocentric) dengan mendiskusikan persoalan yang terkait dengan nilai keputusan (value decisions), tingkah laku pelaku ekonomi (economic actors/agents) dan mekanisme pasar (market mechanism). Mereka sering lupa atau bahkan melupakan diri bahwa distribusi kesejahteraan yang dihasilkan dari pasar itu berasal dari dunia material (ekosistem), lingkungan, sistem planet bumi itu sendiri. Pengabaian peran ekologi sesungguhnya tidak ditermukan dalam sejarah pemikiran ekonomi. Pengabain ini pantas disebut sebagai kecelakaan sejarah karena dalam perkembangannya telah banyak ilmuwan baik dari kalangan ecologists maupun economists yang mengkritik pemikiran dari penganut ortodoks neoklasik. Khususnya pemikiran yang menganggap sumberdaya (biosfer bumi) tidak ada batasannya dan tidak mempercayai hukum yang berlaku di alam. Demikian juga dengan pemikiran antroprocentric (manusia) yang mengabaikan peran ekosistem sebagai penyedia sumberdaya sekaligus penerima limbah dari kegiatan ekonomi. Hal ini lumrah bagi mereka yang memberi ‘penilaian yang rendah’ terhadap proses-proses ekosistem sebagai penyedia sumberdaya maupun sebagai penyerap limbah kegiatan ekonomi.